
Apakah Warga Negara Asing boleh memiliki Hak Milik atas tanah di Indonesia?
Apakah Perjanjian Nominee untuk penguasaan hak atas tanah adalah sah menurut Hukum Indonesia?
Table of Contents
Hak Milik atas tanah sebagai hak terkuat dan terpenuh secara normatif dilarang untuk dimiliki oleh WNA.
Namun dalam praktik yang terjadi di daerah-daerah, masih banyak dijumpai WNA yang melakukan perbuatan hukum untuk dapat mengusai hak milik atas tanah tanpa memperhatikan ketentuan UU Pokok Agraria. Perbuatan hukum ini biasanya dijumpai dalam bentuk perjanjian yang kemudian dikenal dengan perjanjian nominee.
Dalam praktik, penggunaan nama warga Negara Indonesia sering dilakukan dengan cara mengatas namakan tanah bahkan saham-saham atau properti di Indonesia yang sebenarnya adalah milik Warga Negara Asing, ke atas nama isterinya yang berkewarganegaraan Indonesia atau di atas namakan ke atas nama orang kepercayaannya, dan sebagai “pengaman” bagi WNA tersebut, pihak WNI yang namanya digunakan sebagai orang yang secara hukum “memiliki” tanah tersebut menanda-tangani surat pernyataan pengakuan bahwa tanah tersebut bukanlah miliknya, dan namanya hanya “dipinjam”.
Dalam kamus hukum atau Black’s Law Dictionary, arti dari nominee adalah : “One designated to act for another as his representative in a rather limited sense. It is used sometimes to signify an agent or trustee. It has no connotation, however, other than that of acting for another, in representation of another, or as the grantee of another.” Artinya, seseorang ditunjuk bertindak atas pihak lain sebagai perwakilan dalam pengertian terbatas. Ini digunakan sewaktu-waktu untuk ditandatangani oleh agen atau orang kepercayaan. Tidak ada pengertian lain daripada hanya bertindak sebagai perwakilan pihak lain atau sebagai penjamin pihak lain (Bryan A. Garner, 1999: 1072).
Penjanjian Nominee merupakan salah satu dari jenis perjanjian innominaat, yaitu perjanjian yang tidak dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) namun timbul, tumbuh dan berkembang di masyarakat. Berdasarkan KUHPerdata, perjanjian Nominee harus tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum perjanjian dalam Buku III KUHPerdata tentang perikatan.
Istilah nominee tersebut sering disamakan dengan istilah perwakilan atau pinjam nama, berdasarkan surat pernyataan atau surat kuasa yang dibuat oleh para pihak, orang asing meminjam nama warga negara Indonesia untuk dicantumkan namanya sebagai pemilik tanah disertifikat, tetapi kemudian warga negara Indonesia berdasarkan akta pernyataan yang dibuatnya mengingkari bahwa pemilik sebenarnya adalah warga negara asing selaku pihak yang mengeluarkan uang untuk pembelian tanah tersebut dan penguasaannya dilakukan atau diwakilkan kepada warga negara asing tersebut.
Secara implisit, suatu perjanjian nominee memiliki unsur-unsur sebagai berikut :
- Adanya perjanjian pemberian kuasa antara dua pihak, yaitu beneficial owner sebagai pemberi kuasa dan nominee sebagai penerima kuasa, yang didasarkan pada adanya kepercayaan dari beneficial owner kepada nominee
- Kuasa yang diberikan bersifat khusus dengan jenis tindakan hukum yang terbatas;
- Nominee bertindak seakan-akan sebagai perwakilan dari beneficial owner di depan hukum.
Sekilas terlihat bahwa perjanjian nominee dengan pemberian kuasa pada umumnya adalah sama karena keduanya memerlukan pihak yang berperan sebagai pemberi kuasa dan penerima kuasa. Namun apabila dikaji secara seksama, keduanya merupakan hal yang serupa tetapi tidak sama. Perjanjian nominee dari sifatnya adalah sama dengan perjanjian timbal balik, dimana para pihak memiliki kewajiban untuk memenuhi prestasi masing-msing pihak yang tercantum di dalam perjanjian.
Hal ini disebabkan kuasa yang terdapat di dalam perjanjian nominee lebih bersifat lastgeving, dimana kuasa yang diberikan lebih menekankan kepada pemberian beban perintah kepada si penerima kuasa untuk melaksakan prestasi yang diperjanjikan. Adapun pemberi kuasa yang pada umumnya dibuat merupakan perjanjian sepihak yang bersifat volmacht karena hanya memberikan kewenangan pada si penerima kuasa untuk mewakili si pemberi kuasa.
Konsep ini mekanismenya diatur bahwa pemilik rumah atau bangunan adalah seorang WNI dengan biaya yang bersumber pada WNA tersebut. Kepemilikan yang dimaksud adalah sebuah kepemilikan yang tidak langsung, yang tercipta dari hubungan hukum antara WNI dan WNA yang dikaitkan didalam suatu perjanjian yang disebut dengan Nominee/Trustee Agreement, yang dimana perjanjian tersebut berisikan tentang pernyataan hubungan hukum WNI dengan WNA yang menyatakan bahwa kepemilikan hak atas tanah tersebut pada dasarnya adalah milik dari WNI dan WNA yang bersangkutan yang dapat memerintahkan berbagai tindakan hukum terhadap hak yang “dimiliki” oleh WNA yang dipercaya untuk mengelolanya (trustee). Pada umumnya perjanjian Nominee tersebut terdiri atas Perjanjian Induk yang terdiri dari Perjanjian Pemilikan Tanah (Land Agreement) dan Surat Kuasa ; Perjanjian Opsi ; Perjanjian Sewa-Menyewa (Lease Agreement) ; Kuasa Menjual (Power of Attorney to Sell) ; Hibah Wasiat ;dan Surat Pernyataan Ahli Waris (Maria Sumardjono,2005:14).
Suka atau tidak suka, pada faktanya sebenarnya banyak tanah-tanah mislanya di Bali yang dimiliki oleh orang asing, walaupun apabila di cek di kantor pertanahan setempat, terdaftar atas nama WNI. Hal ini terjadi karena adanya asas larangan pengasingan tanah (gronds verponding verbood) yang dianut dalam hukum tanah di Indonesia; yang melarang kepemilikan tanah dengan hak selain hak pakai untuk dimiliki oleh Warga Negara Asing.
Perjanjian Nominee dalam konteks hukum merupakan suatu bentuk penyelundupan hukum untuk menghindari peraturan yang mengatur bahwa orang asing adalah tidak memenuhi syarat sebagai subyek pemegang hak milik atas tanah di Indonesia sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) jo Pasal 21 ayat (1) UUPA. Namun, perlu dipahami bahwa penyelundupan hukum bukan merupakan bentuk pelanggaran hukum. Sehingga secara hukum, perjanjian nominee tidak bertentangan dengan ketentuan hukum Indonesia. Dalam hal ini memang perlu menjadi perhatian bahwa kedepan perlu untuk melakukan perbaikan atas kondisi-kondisi ini. Revisi UUPA atau peraturan teknis dibawahnya perlu menegaskan larangan terhadap adanya perjanjian nominee sehingga tertutup celah bagi WNA untuk menguasai tanah di Indonesia dengan hak milik yang seringkali diakali dengan menggunakan perjanjian nominee.
Referensi :
Andina Damayanti Saputri (Mahasiswa Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret), Perjanjian Nominee Dalam Kepemilikan Tanah Bagi Warga Negara Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Nomor: 12/PDT/2014/PT.DPS)
Maria S.W. Sumardjono, “Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi”, Kompas,2006, Jakarta.
Maria S.W. Sumardjono, “Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan Bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing”, 2007, Kompas, Jakarta.
Mariam Badrulzaman, “Asas Kebebasan Berkontrak dan Kaitannya Dengan Perjanjian Baku (Standar)”, 1994, Bandung.