Oleh: Angga Priancha, S.H., LL.M. & Iffah Karimah, S.H., M.Sc.
Baru-baru ini, perubahan logo halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menimbulkan polemik akan implikasi penerapannya kepada konsumen. Logo ini merupakan pengganti dari logo halal sebelumnya yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Perubahan logo ini tidak dipungkiri terjadi karena adanya perubahan kewenangan lembaga yang berhak mengeluarkan sertifikat dan logo halal akibat dari diterbitkannya Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Bila sebelumnya kewenangan berada di MUI, saat ini kewenangan tersebut dimiliki oleh BPJPH di bawah Kementerian Agama. Sebagai dampaknya, logo halal berubah mengikuti otoritas yang berwenang mengeluarkannya.
Gambar 1 Logo Halal Lama dan Baru
Namun, muncul kekhawatiran bahwa logo sertifikasi halal indonesia yang baru akan sulit dikenali oleh masyarakat karena jauh berbeda dari yang sebelumnya. Logo halal sebelumnya dominan di warna hijau dengan tulisan hijaiyyah (huruf arab) bertuliskan “halal” sekarang berubah menjadi warna ungu dengan kaligrafi huruf hijaiyyah kata “halal” dengan bentuk menyerupai wayang dan lebih sulit dibaca karena menggunakan style kaligrafi kufi yang kurang familiar dengan masyarakat Indonesia.
Perbedaan warna pada logo yang tadinya dominan hijau menjadi ungu dengan bentuk yang berbeda ini dikhawatirkan membuat bingung masyarakat yang mencari produk yang memang benar-benar sudah tersertifikasi halal. Hal ini dianggap dapat membuat perubahan logo menjadi kontra produktif, karena adanya kebingungan mengenali logo halal pada produk-produk yang dijual.
Pada dasarnya, logo halal digunakan untuk membantu konsumen untuk dapat membedakan mana yang produk halal dan yang tidak. Hal ini serupa dengan konsep merek dalam hukum kekayaan intelektual yang memiliki elemen, sebuah tanda dan memiliki daya pembeda.
Walaupun memang logo halal ini, baik yang lama dan yang baru, merupakan juga merek yang didaftarkan dalam pangkalan data kekayaan intelektual dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, akan tetapi pembahasan tulisan ini akan berfokus pada aspek kekuatan daya pembeda logo lama dan logo baru. Bukan kepada konsep logo halal sebagai sebuah hak merek di Indonesia.
Artikel ini akan berfokus pada solusi permasalahan daya pembeda logo lama dan baru sertifikasi halal di Indonesia melalui sendi-sendi doktrin dan hukum merek, terutama pada doktrin secondary meaning (makna kedua) dalam merek deskriptif.
Kontekstualisasi Kemiripan Logo Sertifiksi Halal dengan Konsep Merek
Konsep merek adalah sebuah tanda yang memiliki daya pembeda. Tanda ini biasanya diletakan pada sebuah barang atau jasa agar konsumen dapat dengan mudah dan cepat membedakan suatu produk di pasar dari produk-produk yang lain. Salah satu alasannya adalah agar konsumen dapat melakukan transaksi dengan mudah dan tanpa mengalami kerugian dari kesalahan membeli. Artinya, semakin kuat daya pembeda dari sebuah tanda, maka akan semakin kecil resiko konsumen untuk salah membeli suatu produk
Dalam hal ini, logo halal juga diperuntukkan untuk fungsi yang sama dengan merek dagang yang diletakan di berbagai macam barang dan jasa. Perbedaanya adalah, logo halal yang diimbuhkan kepada barang dan jasa diperuntukan agar konsumen muslim dapat membeli produk-produk yang layak dikonsumsi sesuai dengan ajaran agamanya, yaitu membedakan produk-produk yang telah lulus sertifikasi halal dan mana yang belum lulus sertifikasi halal.
Permasalahan pada polemik logo halal sekarang adalah kekhawatiran bahwa konsumen akan mengalami kesulitan dalam membedakan produk halal dengan logo yang baru. Ketika hal ini terjadi, maka kemungkinan besar konsumen yang mencari produk halal akan mengalami kerugian dari salah membeli produk. Yang mungkin juga berakibat kepada mubazirnya produk tersebut karena tidak bisa dikonsumsi.
Jika digarisbawahi, polemik perubahan logo halal terletak pada kekuatan daya pembeda dari logo produk halal yang baru dengan yang lama.
Analisa Logo Halal Sebagai Daya Pembeda melalui Doktrin Daya Pembeda dalam Merek
Tanda Deskriptif dalam Doktrin Spektrum Daya Pembeda
Dalam menganalisa daya pembeda dalam konteks merek, para ahli hukum biasanya menggunakan doktrin spectrum of distinctiveness yang berasal dari kasus hukum Abercrombie & Fitch co. v. Hunting world, Inc. di Amerika Serikat. Dalam doktrin ini kekuatan daya pembeda dibagi menjadi 5 spektrum kekuatan, dari yang paling kuat yaitu fanciful, arbitrary, suggestive, descriptive dan generic.
Jika dikaji melalui doktrin ini, logo halal sebagai tanda pembeda dapat dikategorikan dalam tanda deskriptif. Merek deskriptif sering digambarkan sebagai tanda yang tidak hanya memberikan daya pembeda, namun juga mendeskripsikan kualitas dari sebuah produk. Sebagai contoh adalah “Gula Manis” untuk produk gula, karena pada dasarnya gula bersifat manis.
Dalam hal ini, logo halal juga merupakan tanda yang deskriptif. Logo halal mendeskripsikan kualitas dari suatu produk yang mengindikasikan bahwa produk tersebut sudah sesuai dengan standar proses dan bahan baku yang halal. Halal merupakan konsep dalam ajaran Islam, dalam konteks produk berarti sesuatu yang halal dibolehkan untuk dikonsumsi oleh seorang Muslim. Oleh karena itu, logo halal ada untuk mendeskripsikan kualitas dari produknya.
Dalam hukum merek, tanda deskriptif merupakan tanda yang dihitung lemah daya pembedanya dan tidak dapat didaftarkan sebagai merek, kecuali dia telah mendapatkan secondary meaning (makna kedua) sebagai sebuah daya pembeda (memperoleh acquired distinctiveness). Sebagai contoh, merek “gula manis” akan membingungkan konsumen untuk membedakanya karena semua gula bersifat memiliki rasa manis.
Akan tetapi dalam konteks logo halal, tidak tepat jika kita mengaplikasikan doktrin tanda deskriptif secara murni. Ini dikarenakan logo halal sesungguhnya tidak digunakan murni untuk proses pembedaan suatu produk dengan produk lainnya dengan alasan efektifitas pasar dan pengambilan keuntungan sebagai merek dagang. Logo halal memiliki fungsi sosio-kultural yang mungkin bisa dikaji lebih lanjut oleh ahli hukum, akan tetapi hal tersebut tidak akan dibahas pada artikel ini.
Artikel ini akan lebih berfokus membahas konsep secondary meaning atau makna kedua didalam doktrin tanda deskriptif. Polemik logo halal baru timbul karena masih lemahnya makna kedua logo baru tersebut sebagai tanda yang memiliki daya pembeda, dan masih dilihat sebagai sebuah tanda biasa tanpa fungsi pembedaan yang spesifik.
Secondary Meaning?
Dalam hukum merek Indonesia, tanda deskriptif dapat didaftarkan sebagai merek jika telah mendapatkan Secondary Meaning (makna kedua) dari tanda tersebut. Makna kedua disini dimaksudkan bahwa konsumen telah dapat mengerti bahwa rangkaian tanda yang deskriptif tersebut bukanlah frase/kata/tanda untuk mendeskripsikan, akan tetapi sebuah frase/kata/tanda yang menjadi sebuah tanda pembeda.
Sebagai contoh yang sering digunakan di Indonesia adalah merek Supermi. Jika kita kritisi, “Supermi” merupakan tanda yang deskriptif dimana seakan digambarkan produk mie tersebut berkualitas super. Akan tetapi, jarang orang di Indonesia mengartikan supermi sebagai suatu hal yang deskriptif, melainkan mereka sudah memahami bahwa yang dimaksud adalah sebuah produk mie instan yang sudah lama beredar di Indonesia.
Contoh lainya adalah merek “Aqua” yang walaupun merupakan Bahasa asing dari “air”, tetap dapat dibedakan oleh orang Indonesia sebagai sebuah daya pembeda suatu produk air mineral dari air mineral lainya. Yang berarti di Indonesia Supermi dan Aqua sudah memiliki makna kedua sebagai merek atau daya pembeda.
Lalu, bagaimana cara sebuah tanda dapat mendapatkan makna kedua? Salah satu cara untuk mendapatkan dan membuktikan adanya makna kedua adalah dengan melakukan marketing atau kampanye. Dengan melakukan marketing yang baik, seorang pemilik tanda dapat mengubah persepsi masyarakat sehinga tanda deskriptif yang dimilikinya dapat terasosiasi menjadi sebuah tanda yang memiliki daya pembeda.
Dengan digiringnya opini publik untuk memahami bahwa sebuah tanda deskriptif memiliki makna lain yang berbeda dari konteks deskriptifnya, maka sebuah tanda menjadi memiliki daya pembeda dan dapat digunakan sebagai tanda pembeda. Yang berarti, ketika sebuah tanda dapat digunakan menjadi pembeda, semakin sedikit risiko konsumen untuk salah mengidentifikasi dan membeli suatu produk.
Jika dikontekstualisasikan dalam masalah logo baru sertifikasi halal, sesungguhnya kekhawatiran publik terletak pada bagaimana membedakan produk halal menggunakan logo yang baru. Alasanya adalah karena logo tersebut begitu asing, jauh berbeda dari logo yang lama, dan tidak dikenal sebagai sebuah tanda yang menjadi indikator produk halal. Selama ini logo halal identik dengan warna dominan hijau dan kaligrafi halal dalam bahasa arab, yang juga banyak digunakan di negara-negara Asia Tenggara lainnya. Artinya, jika dikritisi, logo halal baru tersebut belum memiliki secondary meaning atau makna kedua yang kuat di dalam benak konsumen Indonesia.

Jika logikanya sejalan, maka sesungguhnya polemik ini dapat diselesaikan melalui cara-cara untuk mendapatkan secondary meaning untuk logo yang baru agar daya pembedanya dapat terinternalisasi didalam benak konsumen. Dalam hal ini adalah melakukan campaign dan promosi.
Promosi Logo Halal Baru Indonesia: Sebuah solusi menghadapi kekhawatiran
Kekhawatiran konsumen dari logo baru sertifikasi halal sesungguhnya adalah meningkatnya kesulitan untuk mengidentifikasi produk halal melalui logo baru yang diterapkan. Alasanya adalah karena logo tersebut begitu beda secara warna dan secara konfigurasi bentuk, sehingga ada jarak antara intuisi masyarakat terhadap fungsi dari logo tersebut. Ini berarti belum terinternalisasinya pemahaman masyarakat Indonesia terhadap secondary meaning dari logo baru halal tersebut.
Dengan melakukan promosi dan kampanye, diharapkan terbentuk persepsi secondary meaning dari logo halal baru pada konsumen Indonesia. Promosi dan kampanye dapat menginternalisasi secondary meaning akan fungsi dari logo halal yang baru kepada masyarakat. Dengan terinternalisasinya secondary meaning dari logo halal yang baru, diharapkan masyarakat tetap bisa mengidentifikasi produk-produk halal secara tepat walaupun logo tersebut berbeda jauh dengan yang sebelumnya.
Penulis
Angga Priancha adalah Dosen Bidang Studi Hukum Ekonomi dan Teknologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia; dan Peneliti di Lembaga Kajiah Hukum dan Teknologi (LKHT) Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Iffah Karimah adalah Dosen Bidang Studi Hukum Islam dan Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Indonesia; dan Peneliti di Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam (LKIHI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia