
Oleh : Febry Indra Gunawan Sitorus
Table of Contents
Pendahuluan
Partai politik sebagai salah satu infrastruktur politik memiliki peran penting sebagai salah satu pilar demokrasi. Peran partai politik sangat menentukan iklim demokrasi dalam sebuah negara demokrasi. Partai politik juga merupakan salah satu wujud dari kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Pengaturan lebih lanjut mengenai partai politik sebagaimana diatur dalam Pasal 28 konstitusi memberikan delegasi agar partai politik diatur dalam UU.
UU Partai Politik mengalami proses metamorfosa yang panjang. Untuk pertama kalinya, UU yang mengatur tentang partai politik hadir melalui UU 3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya , yang kemudian seiring waktu mengalami perubahan dan pembaharuan pada tahun 1985 melalui UU 3/1985 dan kemudian dicabut oleh UU 2/1999 tentang Partai Politik. Pasca amandemen UUD 1945, Partai Politik diatur melalui UU 31/2002 kemudian dicabut melalui UU 2/2008 tentang Partai Politik, dan terakhir diubah melalui UU No. 2 Tahun 2011, yang masih berlaku hingga saat ini. Artinya, UU Partai Politik telah enam kali bersalin rupa lintas orde pemerintahan.
Salah satu tahapan penting sistem kepartaian dalam UU Partai Politik adalah proses dan syarat pembentukannya. Baik UU 31/2002, UU 2/2008 maupun UU 2/2011 memiliki persyaratan yang berbeda terkait dengan persyaratan pendirian partai politik. Salah satu perubahan penting dalam persyaratan pembentukan partai politik dalam UU 2/2011 adalah partai politik harus didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 30 orang WNI dari setiap provinsi dan didaftarkan paling sedikit oleh 50 orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri partai politik dari yang sebelumnya hanya mempersyaratkan partai politik cukup didirikan oleh 50 WNI (Pasal 2 ayat 1 UU 2/2008). Perubahan persyaratan pendirian partai politik ini tentu juga berpengaruh terhadap salah satu tahapan pembentukan partai politik yakni proses verifikasi.
Secara hukum, berdirinya sebuah partai politik hingga berhak mengikuti kontestasi pemilu harus melalui proses yang sangat selektif. Sebagai sebuah partai politik berbadan hukum, partai politik harus didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM. Pendaftaran sebagai sebuah badan hukum di Kementerian Hukum dan HAM tidak menjadikan Partai Politik begitu saja dapat menjadi peserta pemilu. Untuk dapat menjadi peserta pemilu, setiap partai politik harus terlebih dahulu mendaftar dan harus melalui tahapan verifikasi di KPU. Verifikasi partai politik di KPU adalah salah satu tahapan penting dalam sistem kepartaian dan penyelenggaraan pemilihan umum. Karena pada tahap ini menjadi momentum yang menentukan terkait memenuhi tidaknya sebuah partai politik untuk tampil sebagai peserta pemilu..
Keikutsertaan partai politik dalam kontestasi pemilihan umum sangat ditentukan oleh proses verifikasi di KPU. Misalnya dalam Pasal 173 UU Pemilu mengatur bahwa Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU. Secara sederhana, verifikasi partai politik dapat dibagi menjadi dua, yakni verifikasi administratif dan verifikasi faktual. Verifikasi administratif berkaitan dengan proses penelitian kelengkapan dan kesesuaian dokumen pendaftaran partai politik.
Sementara verfifikasi faktual merupakan proses penelitian untuk menentukan kesesuaian persyaratan secara faktual. Verifikasi faktual meliputi verifikasi terhadap akta notaris pendirian Partai Politik, nama, lambang, atau tanda gambar, kepengurusan harus ada pada setiap provinsi dan paling sedikit harus ada di 75% dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50% dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan, kantor tetap pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir pemilihan umum dan rekening atas nama Partai Politik.
Pengaturan mengenai verifikasi maupun syarat keikutsertaan partai politik sebagai peserta pemilu merupakan aspek yang krusial dalam menentukan eksistensi dan keikutsertaan partai politik dalam kontestasi pemilu. Sehingga, tidak heran ketika ketentuan mengenai persyaratan pendirian maupun syarat keikutsertaan partai politik dalam pemilu menjadi perhatian bagi partai politik maupun pelaku politik lainnya.
Misalnya, pada tahun 2011 ketentuan mengenai jangka waktu verifikasi partai politik sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1a) UU 2/2011 diuji konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi. Pasal 51 ayat (1a) mengatur bahwa verifikasi partai politik yang telah diverifikasi sebelumnya melalui UU No. 2/2008 dan Partai Politik yang dibentuk setelah UU 2/2011 diundangkan harus selesai paling lambat 2 ½ tahun sebelum hari pemungutan suara Pemilu. MK melalui Putusan No. 35/PUU-IX/2011 menyatakan ketentuan ini inkonstitusional bersyarat. Sehingga pasca putusan, verifikasi partai politik yang dibentuk setelah Undang-Undang 2/2011 dilakukan paling lambat 2 ½ tahun sebelum hari pemungutan suara untuk mengikuti pemilihan umum pada pemilihan umum pertama kali setelah partai politik yang bersangkutan didirikan dan berbadan hukum.
Perspektif Mahkamah Konstitusi Terhadap Ketentuan Verifikasi Partai Politik
Persoalan verifikasi partai politik dan syarat keikutsertaan partai politik dalam kontestasi pemilu sejatinya bukan merupakan isu baru. Pada tahun 2012, 17 Partai Politik yang saat itu relatif tergolong sebagai partai politik yang masih baru mengajukan uji materil terhadap ketentuan verifikasi dan syarat keikutsertaan partai politik yang terdapat dalam ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU 8 /2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Mahkamah Konstitusi saat itu mengabulkan sebagian permohonan pemohon dan menyatakan bahwa verifikasi partai politik dilakukan terhadap seluruh partai politik calon peserta Pemilu 2014. Artinya berdasarkan putusan ini, verifikasi partai politik sebagai syarat mengikuti pemilu dilakukan terhadap keseluruhan partai politik baik partai politik lama maupun partai politik baru.
Hadirnya UU 7/2017 tentang Pemilu, Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3) expressis verbis kembali mengatur mengenai verifikasi partai politik dan syarat keikutsertaan partai politik dalam pemilu. Pembentuk UU tampaknya tidak mau tunduk kepada putusan MK sebelumnya karena terkait pasal ini Mahkamah melalui putusannya sudah memutuskan bahwa verifikasi partai politik harus dilakukan secara menyeluruh baik kepada parai politik baru maupun partai politik lama yang sudah memenuhi parliamentery threshold.
Terhadap ketentuan ini, Mahkamah Konstitusi setidaknya telah mengeluarkan dua putusan terkait verifikasi dan syarat keikutsertaan partai politik sebagai peserta pemilu. Melalui Putusan Nomor 53/PUU-XV/2017, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa frasa “telah ditetapkan” dalam Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya pasca putusan tersebut ketentuan Pasal 173 ayat (1) berubah dari yang sebelumnya berbunyi:
“Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU” menjadi “Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang lulus verifikasi oleh KPU”. Implikasinya adalah verifikasi faktual berlaku untuk seluruh partai politik calon peserta Pemilu 2019, termasuk 12 partai politik lama yang merupakan peserta Pemilu 2014. Verifikasi faktual tidak lagi hanya berlaku bagi partai politik baru yang lolos pada tahap penelitian administrasi. Setidaknya ada dua benang merah dasar pemikiran yang mendasari amar putusan ini.
Pertama, norma UU Pemilu tidak boleh memuat norma yang pada pokoknya mengandung perlakuan berbeda terhadap calon peserta pemilu, sebab perlakuan berbeda (diskriminasi) bertentangan dengan hak atas kesempatan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan. Kedua, perlakuan berbeda terhadap partai politik calon peserta pemilu dapat dihindari dengan cara bahwa dalam pelaksanaan pemilu, setiap partai politik calon peserta pemilu harus mengikuti verifikasi.
Lebih lanjut dalam pertimbangan hukumnya, MK berpendapat bahwa terdapat 4 alasan verifikasi harus tetap dilakukan kepada semua partai politik baik partai politik baru maupun partai politik lama yang sudah terdaftar sebagai peserta pemilu dalam pemilu sebelumnnya, yakni :
4 Alasan Verifikasi Harus Tetap Dilakukan Kepada Semua Partai Politik Baik Partai Politik Baru maupun Lama
Keadilan bagi Setiap Calon Peserta Pemilu
Perlakuan berbeda terhadap calon peserta Pemilu merupakan hal yang bertentangan dengan konstitusi karena perlakuan berbeda menyebabkan ketidakadilan pemilu. Seluruh syarat dan penetapan syarat bagi partai politik untuk menjadi peserta pemilu tidak dapat dibeda-bedakan, baik karena alasan bahwa partai politik dimaksud memiliki kursi di DPR maupun DPRD maupun karena alasan telah mendapat dukungan dari rakyat melalui Pemilu.
Pemekaran Daerah dan Perkembangan Demografi
Syarat menjadi peserta pemilu yang ditentukan baik dalam UU Pemilu maupun UU Partai Politik mensyaratkan faktor jumlah daerah dan jumlah penduduk (demografi) . Secara faktual, jumlah provinsi dan kabupaten kota bukanlah sesuatu yang statis/tetap tetapi mengalami perkembangan demografi seiring waktu, sehingga dalam hal ini pemenuhan syarat memiliki anggota dalam jumlah tertentu yang ditentukan dalam UU Pemilu maupun UU Partai Politik harus diperiksa kembali melalui proses verifikasi untuk memutakhirkan keterpenuhan syarat sebagai calon peserta pemilu.
Partai Politik sebagai Badan Hukum yang Dinamis
Partai politik bukanlah benda mati yang statis. Sewaktu-waktu dapat mengalami pasang surut sehingga suatu waktu dapat mengalami penurunan jumlah keanggotaan, penurunan ketersediaan kantor tetap sebagaimana syarat partai politik, sehingga mengakibatkan tereliminasinya keterpenuhan syarat, sehingga proses pemilu menjadi momentum yang tepat untuk melakukan verifikasi kembali potensi berkurangnya syarat dimaksud.
Verifikasi Menyeluruh Terhadap Keterpenuhan Syarat Peserta Pemilu
Verifikasi menyeluruh terhadap syarat peserta pemilu harus dilaksanakan sebagai bagian dari upaya memenuhi desain memperketat jumlah partai politik, karena dengan demikianlah dapat dipastikan keterpenuhan syarat minimal kepengurusan tanpa melakukan pengecualian.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 53/PUU-XV/2017 belum menjadi akhir dari persoalan verifikasi dan syarat keikutsertaan partai politik sebagai peserta pemilu. Terbaru, melalui Putusan MK No. 55/PUU-XVIII/2020 yang diajukan oleh Partai Garuda pada 6 Juli 2020, Mahkamah Konstitusi memutuskan Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 tentang Pemilu yang mengatur bahwa “Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah lulus verifikasi oleh KPU” inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai :
“Partai Politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual, hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru”.
Sejatinya paradigma pertimbangan hakim dalam putusan ini bertolak belakang dengan putusan sebelumnya (Putusan No. 53/PUU-XV/2017). Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 terkait dengan verifikasi partai politik sudah sangat jelas, yakni semua partai politik diharuskan mengikuti verifikasi untuk menjadi peserta Pemilu selanjutnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari pemberlakuan syarat yang berbeda (unequal treatment) kepada peserta suatu kontestasi (pemilihan umum) yang sama.
Mahkamah juga berpandangan bahwa Posisi dan standing Mahkamah dalam memandang kewajiban verifikasi terhadap semua partai politik, merupakan upaya untuk menegakkan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Akan tetapi hal tersebut justru cenderung abai pada penegakan prinsip keadilan karena memandang sama terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan secara berbeda.
Terlihat melalui Putusan MK No. 55/PUU-XVIII/2020, Mahkamah mengambil posisi untuk berubah sikap dari putusan sebelumnya atas pengujian norma yang substansinya sama dengan alasan penegakan prinsip keadilan. Padahal, Mahkamah dalam putusannya tidak mengelaborasi alasan yang cukup dalam mengenyampingkan pertimbangan hukum sebelumnya terkhusus terhadap argumentasi pemekaran daerah dan perkembangan demografi, Partai Politik sebagai badan hukum yang dinamis dan keadilan bagi setiap calon peserta Pemilu sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan hukum dalam Putusan MK No. 53/PUU-XV/2017.
Praktis, pasca putusan MK No. 55/PUU-XVIII/2020, ada dua sistem verifikasi partai politik yang berbeda. Untuk partai politik baru dan partai politik sebelumnya yang tidak memenuhi ketentuan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) harus memenuhi dua tahapan verifikasi yakni verifikasi administratif maupun verifikasi faktual. Sedangkan untuk partai politik lama yang sudah memenuhi ambang batas parlemen, (parliamentary threshold) putusan MK hanya mensyaratkan verifikasi administratif, tanpa harus melalui verifikasi faktual. Lagi-lagi, ini membawa perlakuan yang berbeda antar partai politik baru dan partai politik lama. Perlakuan berbeda ini sesungguhnya sangat dekat dengan ketidakadilan mengingat 4 pertimbangan Mahkamah sebelumnya
Bahan Bacaan :
1. UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
2. UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik
3. UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
4. Putusan MK No. 35/PUU-IX/2011
5. Putusan MK No. 52/PUU-X/2012
6. Putusan MK No. 53/PUU-XV/2017
7Putusan MK No. 55/PUU-XVIII/2020